Berita Features Nasionalisme Pelacur

meskipun PSK dianggap sebgai penyakit masyarkat  serta selalu dijadikan mangsa satpol PP tetapi PSK masih  memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negara.

Corong Online: Waktu itu jarum jam di stasiun wonokromo menunjukkan pukul 00.05 WIB. Sri Tanjung, jurusan Jakarta Surabaya baru saja menurunkan penumpangnya. Setelah itu kereta melanjutkan perjalanannya menuju stasiun Gubeng dengan melewati jalur satu, sementara di jalur yang lain banyak orang yang duduk berjejer menghadap ke wanita yang uduk dipinggir tenda bak orang yang jualan di pasar.

Tapi ini berbeda para wanita iru bukan berjualan ikan, tetapi wanita itu adalah PSK (pekerja seks komersial) yang lagi mecari pelanggan. Di depan tenda yang kumuh itu ada puluhan PSK yang duduk untuk menjual dirinya. Ada yang duduk sambil menghisap rokok, berhias, bahkan ada yang menyisir rambutnya. Para PSK ini sesekali memanggil pengunjung yang lewat atau duduk di depannya untuk diajak masuk ke dalam tenda.

Seperti yang dilakukan oleh PSK dengan tubuh kurus tingginya 150 cm, rambutnya lurus hitam sampai ke pinggang. Dia sedang duduk beralaskan koran di pinggir jalur kereta nomer tiga. Dia sedang duduk sendirian, tidak ada satu pria pun yang mau menyapanya. Meskipun setiap ada lelaki yang lewat dia merayu dengan kata-kata “gak mau main sama aku ta”. Akan tetapi rayuan itu tidak bisa membuat lelaki mau menawarnaya atau hanya menanyakan tarifnya.

Setelah tim corong menghampirinya,  dia menyapa tim corong dengan kata-kata andalannya dengan langsung mengajak untuk masuk ke dalam tenda, tim corongpun mengajak wanita yang wajahnya oval in ngobrol, sambil menyodorka rokok tim corong menanykan namanya.

Dia adalah Lina, (nama samara) wanita kelahiran Sumenep, Madura ini  sudah enam bulan bekerja sebagai PSK Stasiun Wonokromo. Dia mengaku awalnya dia diajak oleh teman kampungnya untuk bekerja di Surabaya. Karena dia  tidak memiliki ijazah dan keterampilan sehingga sesampainya di Surabaya wanita yang sudah dua tahun cerai dengan suaminya ini sangat sulit untuk  mendapatkan pekerjaan. “ Saya itu dulu hanya sekolah MI (Madrasah Ibtidaiyah) itupun tidak sampai lulus. Jadi saya sampai di Surabaya tidak mendapatkan pekerjaan mas sampai berbulan-bulan. Saya bingung. Mau pulang malu sama tetangga, ya akhirnya saya terpaksa bekerja jadi PSK. Keluarga saya tidak ada yang tahu kalau saya bekerja seperti ini”. ujarnya dengan logat Madura yang kental.

Biasanya perempuan yang rumahnya di desa desok ini mematok harga 30 sampai 25 ribu setiap kali main, dipotong uang tenda sebesar 5 ribu. Semalam wanita lima bersaudara ini paling sedikit mendapatkan uang sebesar 50 ribu “ kalau lagi rame biasanya saya sampai dapat 100 ribu mas. Pokoknya tidak tentu lah” tutur wanita yang kos di Bendul Merisi ini.

Dengan pekerjaan sebagai PSK di Surabaya, Lina setiap harinya selalu merasa khawatir dan resah karena dia selalu dihantui dengan bayang-bayang penyakit HIV dan AIDS, karena para hidung belang yang melacur di Stasiun Wonokromo tidak menggunakan kondom. “ Maklumlah mas harga kondom kan mahal, lagian yang sering main ke sini biasanya tingkat ekonominya di bawah rata-rata kebanyakan para kuli bangunan yang juga merantau”.

Selain itu Lina juga harus main kucing-kucingan dengan satpol PP yang kapan saja bisa datang untuk membawa Lina ke kantor polisi. Padahal selama bekerja sebagai PSK pemerintah tidak pernah mencarikan jalan keluar bagi para PSK untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. “ Saya meskipun seperti ini juga pengen bekerja seperti orang-orang yang lainya.”

Kehidupan pelacur seperti Lina dianggap oleh masyarakat dan pemerintah sebagai sampah masyarakat. Pemerintah tidak mau memberikan perhatian bagi para PSk.  Sehingga Lina sangat benci terhadap pemerintah yang hanya memandang para PSK sebelah mata tanpa melihat latar belakang mengapa dia menjadi PSK.

Kendati Lina  dibenci di kalangan masyarakat dan pemerintah, tetapi Lina masih bangga menjadi warga Indonesia. Lina tidak seperti orang-orang kaya yang enggan menyebutkan identitasnya sebagai warga Indonesia. Meskipun lina tidak hafal lagu-lagu wajib Indonesia bahkan tidak mengerti makna dari nasionalisme tetapi lina mempunyai cara tersendiri dalam memcintai bangsa Indonesia.

Setiap perayaan tujuh belas Agustus Lina selalu pulang kampung hanya untuk mengikuti karnaval yang diadakan dikecamatannya. “Saya kalau Agustusan selalu ikut acaran- acara yang ada di kampung saya seperti lomba joget, karnaval, bahkan lomba berhias, dan di depan rumah pasti saya memasang bendera merah putih”. kata wanita yang memakai baju ketet ini.

Meskipun ketika ditanya wanita yang memakai lipstick tebal ini tidak tahu arti dari bendera yang dipasang ketika tujuh belas Agustus tapi dia menganggap dengan memasang bendera di depan rumahnya itu merupakan bentuk rasa cintanya terhadap kemerdekaan.

Tidak hanya lina yang benci terhadap pemerintah, Susi (nama samara)  yang sudah satu tahun bekerja menjadi PSK di kawasan stasiun wonokromo. Susi juga tidak suka terhadap pemeerintah memusuhi para PSK “ kami inikan hanya mencari uang untuk makan, masak di razia terus,seharusnya kan kalau tidak ingin ada PSK yang kita-kita ini di berikan lowongan kerja tidak di biarkan seperti ini”. ujar wanita yang tingginya 140 ini.

Meskipun Susi benci terhadap pemerintah tetapi susi masih mempunyai jiwa nasionalis sikap Susi yang nasionalis  yaitu dengan cinta kepada orang yang sekota dan sedaerah dengan Susi, bentuknya  yaitu dengan mematok harga lebih murah bagi pria hidung belang yang sama-sama dari daerahnya, “kalau sama-sama orang timur saya kasih murah, selisihlah dari yang lain”. kata wanita gemuk kelahiran kota jember ini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes