Rabu

Peran Buku Dalam Proses Ideologisasi

Peran buku dalam proses ideologisasi dapat dipetakan menjadi dua karakter besar. Pertama, buku dapat berfungsi sebagai gambaran dan ekspresi i=-deologi yang telah disusun secara kronologis maupun sistematis sehingga memudahkan bagi setiap orang untuk mengingat, melihat, mengevaluasi dan membuktikan kapasitas jati diri setiap individu maupun kelompok tertentu, bertahan lama dan kandungan maknanya dapat bergerak secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, buku juga dapat berfungsi sebagai media transformasi nilai, inspirasi maupun ide baru bagi seseorang untuk meresponnya hingga pada tataran operasional, baik dalam bentuk penolakan, dukungan maupun pengembangan dalam berbagai karakter, corak dan gerakannya.
Buku sebagai gambaran ideologi tidak berarti bahwa setiap ide pasti dapat dibukukan. Sebuah ide terkadang hanya dapat diungkapkan melalui sikap, kata-kata maupun pernyataan yang terkadang hanya sepotong, belum berupa kalimat sempurna, sehingga belum bisa dicerna dan dimengerti secara utuh. Boleh jadi ide yang masih terpendam memerlukan alat bantu dari pihak lain untuk menerjemahkan maksud hati yang masih sangat abstrak, sehingga mendapatkan kesesuaian dan penyempurnaan dalam bentuk pernyataan yang dimaksudkan.
Karena itu, bagi setiap insan yang mempunyai banyak ide, namun tidak dapat mewujudkan dalam bentuk sikap maupun kata-kata yang dapat dilihat atau diperdengarkan, maka dapat meminta bantuan pada pihak lain untuk menerjemahkannya sehingga sesuai dengan seperangkat ide yang dimaksudkannya. Demikian pula halnya, bagi setiap insan yang sudah sampai pada tahap kemampuan mengekspresikan ide melalui kata-kata dengan pernyataan yang sangat sempurna sekalipun, tidak semuanya akan bisa bertahan lama, kecuali hal tersebut telah ditorehkan dalam sebuah karya, gambar, tulisan maupun buku melalui keterampilan mencatat, menulis dan merumuskannya secara maksimal, kronologis dan sistematis, baik melalui pihak lain, alat rekam maupun alat bantu lainnya, Demikian pula tahap selanjutnya adalah mewujudkan ideologi dalam bentuk pernyataan, tulisan dan pembukuannya.
Proses aktualisasi ideologi semacam pemikiran di atas, sesungguhnya sejalan dengan proses historis tentang pembukuan al-Qur’an, al-Hadits, Kitab-kitab Fikih, Tasawuf, Bahasa, Sastra maupun lainnya adalah juga membutuhkan rentang waktu cukup lama, sejak dari bentuk kewahyuan, penghayatan, penghafalan dan pengamalan hingga berupa mushaf dan kitab yang dapat dikaji, dianalisis bahkan dapat dijadikan sebagai pijakan dasar dalam proses pembentukan ideologi, teologi maupun pedoman hidup bagi setiap insan.  Secara normatif, tahap-tahap transformasi tersebut dapat didasarkan pada QS al-Syura: 51 yang menegaskan bahwa tranformasi ide maupun kesan dapat ditempuh melalui tiga tahap. Pertama, melaui proses ilham, atau pencampakan ide secara langsung tanpa melalui perantaraan. Kedua, proses transformasi ide malalui informasi di balik tabir, yakni sesuatu yang bisa diperdengarkan, namun tidak dapat dilihat dan disaksikan melalui kasat mata. Ketiga, tahap transformasi ide melalui media yang dapat dilihat, diperdengarkan dan dapat dirasakan. Buku yang berfungsi sebagai dokumen, juga tidak semuanya dapat melahirkan ide-ide baru bagi para pembacanya, kecuali jika buku tersebut benar-benar memiliki daya tarik, daya dukung dan kesesuaian dengan harapan dan kepentingan yang lebih luas. Demikian pula sebaliknya, bahwa ide-ide dasar yang tercantum pada buku tersebut, terkadang justru mendapat perlawanan dalam bentuk penolakan melalui seperangkat argumen yang digulirkan dalam berbagai media, baik melalui media cetak maupun lainnya. Dengan demikian, keberadaan buku akan tetap menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengorbitkan sejumlah ideologi di tengah kehidupan. Tetapi sebaliknya, dengan sebuah karya terkadang juga bisa menjadi batu sandungan dalam mencapai kesuksesan. Contoh: dengan adanya al-Qur’an dan al-Hadits dapat mengantarkan ideologi yang benar, namun dengan kehadiran buku yang sesat justru akan menghadirkan sejumlah kerusakan di berbagai pihsak.
Sebaliknya, tranformasi pesan juga dapat dilakukan melaui pembentukan ideologi yang dimulai dari tahap realitas menuju hakikat, yaitu dari sumber informasi sacara visual, audio-visual, dalam bentuk buku, tulisan maupun karya sejenisnya yang dapat disaksikan. Tahap kedua adalah pembentukan ideologi melalui sumber informasi audio maupun sesuatu yang hanya dapat didengar, hanya berupa kata-kata yang belum berwujud tulisan. Dan tahap ketiga adalah berupa sikap dan perasaan sebagai prinsip dasar ideologi yang terdalam, mencakup segala sesuatu sesuai dengan jangkauan pengetahuan maupun pengalaman.
Kerangka pikir di atas tampaknya sejalan dengan pemikiran Fakhruddin al-Razi yang menegaskan bahwa proses transformasi ideologi dapat ditempuh melalui dua start. Pertama, dengan cara berpegang teguh pada hakikat nilai-nilai dasar, kemudian dikembangkan menjadi realitas dengan segala bentuknya. Karena itu, bagi siapaun yang mempunyai ide akan tetap menjadi abstrak dan tidak aplikatif, kecuali hal itu diungkapkan melalui sikap, disuarakan melalui kata-kata dan diwujudkan dalam bentuk karya nyata. Kedua, dapat diawali dengan cara berpegang teguh pada realitas untuk dianalisis menuju tahapan yang lebih bermakna, hingga menembus pada jati diri dan hakekat yang dimaksudkannya. Naskah maupun buku misalnya, merupakan sebuah dokumen yang tampak, dapat dibaca dan dijadikan sebagai pijakan dasar dalam menentukan sikap, pendapat dan tindakan. Walhasil, peran buku akan menjadi sangat penting dalam kehidupan, baik perannya sebagai bentuk ekspresi ideologi maupun bentuk media yang dapat melahirkan sejumlah ideologi baru yang lebih besar manfaatnya dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Para cerdik cendikia menggambarkan bahwa pengetahuan bagaikan binatang liar, sedangkan tali adalah pengikatnya. Karena itu, ikatlah pengetahuan tersebut dengan tali yang kuat. Coba bayangkan apa yang terjadi jika tanpa buku, tanpa catatan dan tanpa suara?. Selamat mencoba dan berlatih melalui budaya menulis sebagai proses pengembangan idelogi yang lebih dinamis dan profesional. Dr. Aswadi, M. Ag (Dekan Fakultas Dakwah)

 




0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes