Satu Nusa…..
Satu Bangsa…..
Satu Bahasa Kita…
Itulah sepenggalan lagu kebangsaan yang cukup populer di telinga kita sebagai lagu kebangsaan yang dapat menyatukan kita, menjadikan semangat bagi kita sebagai warga Negara Indonesia. Dan seharusnya lagu ini pula yang dapat menjadikan kita lebih cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), beserta hal-hal yang berkaitan di dalamnya, seperti produk-produknya.
Akan tetapi pada kenyataannya, sekarang ini banyak dari berbagai kalangan, khusus pemuda, yang notabeninya sebagai penerus bangsa Indonesia, sudah mulai luntur semangat nasionalismenya.
Untuk membuktikan argumen itu, marilah kita sama-sama menganalisis fakta-fakta yang akan diangkat penulis pada tulisan ini.
Diantara fakta-fakta itu ialah Masyarakat hari ini lebih bangga menikmati ayam goreng buatan Amerika, dibanding ayam goreng buatan Indonesia. Sepele memang, tapi hal yang sepele ini, paling tidak sudah bisa dijadikan sampel bahwa masyarakat Indonesia sudah luntur semangat nasionalismenya.
Hal penting yang sebenarnya ingin saya ungkap disini, terkait fakta di atas, ialah banyak dari masyarakat indonesia sudah tidak berminat menggunakan produk dalam negeri, tapi mereka lebih bangga menggunakan produk luar negeri. Hal ini terjadi dalam semua bidang, mulai dari pakain, makanan dan minuman bahkan kendaraan dan handphone pun memakai produk luar negeri.
Mereka tidak pernah memikirkan tentang untung-rugi ketika kita mengkonsumsi produk luar negeri, padahal kita tau bahwa ketika mengkonsumsi produk luar negeri, hal itu sangat menguntungkan bagi pihak luar dan merugikan bagi Indonesia. Toh meskipun, ada pajak yang dibebankan oleh Indonesia kepada produk luar negeri. Tapi hal itu tidak sebanding dengan untung yang diperoleh pihak luar negeri ketika produknya dipakai oleh warga Indonesia.
Ketika masyarakat Indonesia sudah enggan mengkonsumsi produknya sendiri, maka secara tidak langsung produk dalam negeri akan fakum dan tidak akan berkembang. Kalau produk dalam negeri itu sudah tidak terpakai, maka siap-siap perusahaan itu devisit, selanjutnya pemecatan karyawan secara besar-besaran, jika hal itu tidak di tindak lanjuti, maka akan tercipta pengangguran.
Dari pengangguran itulah, sebenarnya awal mula perekonomian Indonesia tidak berkembang dan selalu stagnan.
Salah satu alasan yang sering diungkapkan oleh mereka yang sering mengkonsumsi produk luar negeri ialah masalah trend dan masalah gengsi, yang mana hal ini diakibatkan oleh arus globalisasi dan modernisasi yang semakin hari semakin mengikis semangat nasionalisme.
Berkembang pesatnya arus informasi dan media juga ikut andil dalam penyampain globalisasi dan modernisasi, sehingga tidak dapat dipungkiri perubahan demi perubahan akan segera berlangsung secara terus menerus.
Maka dari itu semua, pemuda hari ini harus sudah bisa mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di zaman yang penuh dengan tantangan itu, karena tidak dapat dipungkiri pemuda hari ini adalah pemegang estafet perjuangan bangsa Indonesia kedepan, dan pemegang tampuk kekuasaan kedepan.
Satu fakta lagi yang sangat ironis berkenaan dengan semangat nasionalisme yang sudah mulai luntur, yakni fenomena yang terjadi di Bali, ketika 70 persen siswa tingkat SMA tidak lulus gara-gara bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa kesatuan republik Indonesia dan sudah kita pelajari sejak kecil. Tambah ironis lagi, kejadian itu didominasi oleh sekolah-sekolah negeri.
Pertanyaannya sekarang, kenapa bahasa Indonesia yang menjadi kelemahan dari siswa SMA tadi?
Penyebab dan alasan yang dapat menjawab pertanyaan tadi salah satunya karena sebagian siswa banyak yang beranggapan bahwa lebih baik menekuni bahasa Inggris daripada menekuni bahasa Indonesia, karena bahasa inggris lebih menjanjikan di masa mendatang.
Disamping itu pula, mereka cendrung menganggap gampang soal bahasa Indonesia karena sudah dipejari sejak kecil. Padahal pada kenyataannya, menurut kepala dinas pendidikan dan olahraga (Disdikpora) provinsi bali mengatakan bahwa bahasa indonesia kualitas dan bobot soalnya lebih kuat, selain itu pula pada saat ini sudah terjadi euforia bilingual, yakni bahasa Inggris, yang menurut siswa harus lebih menonjol. (http://edukasi.kompas.com).
Melihat dua fakta di atas, yakni masyarakat Indonesia yang sudah tidak bangga dengan produknya sendiri, dan juga kasus di Bali yang 70 persen siswa tidak lulus gara-gara bahasa Indonesia, sudah cukup jelas bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam nasionalisme atau semangat nasionalisme di indonesia sudah mulai terkikis dan luntur.
Harapan besar dari penulis ialah bagaimana nasionalisme tidak hanya diperingati dan dikenang oleh warga negara indonesia. Akan tetapi, juga di aplikasikan dalam tingkah laku kita setiap hari. Karena semangat perjuangan nasionalisme ini dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu kita, dan seyogyanya kita ikuti dan lanjutkan perjuangannya.
Bahkan kalau perlu pemerintah harus membuat terobosan baru dan peraturan baru yang bisa menguntungkan produk-produk dalam negeri. Sehingga perekonomian indonesia berangsur-angsur stabil dan berkembang.
0 komentar:
Posting Komentar