Kamis

Misteri Feminisme


Konsep Feminisme ini pada awalnya menyerukan adanya kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) antara dua makhluk berbeda jenis yang diciptakan oleh Tuhan yaitu laki-laki dan perempuan yang diistilahkan dengan kata Feminisme. Permasalahan jender merupakan wacana yang telah banyak dibicarakan dan dibahas oleh banyak kalangan. Diskursus tentang masalah jender ini dimulai sejak diperkenalkannya konsep Feminisme yang notabene merupakan pemikiran yang berasal dari dunia barat.
Sebenarnya Feminisme telah ada ketika zaman Rasulullah SAW. Beliau menyelamatkan kebiasaan kejam bangsa Arab jahiliyah yang sering membunuh bayi perempuannya. Namun, kebanyakan orang mengetahui sejarah Feminisme dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment , di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis Den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan Feminis sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari Feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960,  gelombang kedua setelah 1960, sampai  gelombang ketiga atau Post Feminism.
Istilah Feminis kemudian berkembang secara negatif ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar seperti gerakan pembakaran BH. Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan/diskriminasi tersebut pada dasarnya dapat disebut Feminis.
Banyak wanita yang menjadi korban salah kaprah dalam memahami Feminis. Ironis sekali, Feminisme yang terlahir sebagai cita-cita mulia para wanita pendahulu, kemudian berubah menjadi kemerosotan harga diri seorang wanita, yang lucu pdan juga menyedihkan karena si wanita itu sendiri tidak menyadarinya. Menyadari bahwa ia telah menjatuhkan harga dirinya.
Sedikit cerita, di  Austria kesalahfahaman mengenai arti kata “Feminisme”, membuat bocah 14 tahun mau bertukar pasangan 3 kali dalam sehari. Ketika ditanya alasannya, ia menerangkan “Boys can do it, then why we can`t”. Saya merasa bangga bisa menaklukkan tiga orang cowok dalam sehari. Dan di antara mereka tidak perlu ada yang tahu satu dengan lainnya. Itu kan yang biasa dilakukan pria, seenaknya berganti-ganti pasangan, kemudian menyakiti para gadis”. Di belahan negara lainnya, seorang wanita menuntut persamaan toilet, karena wanita diyakini juga dapat  kencing berdiri seperti halnya pria.
Di Indonesia sendiri, khususnya daerah-daerah metropolis virginitas bagi  wanita Indonesia (tidak semuanya), sekarang bukanlah suatu hal yang patut dipertahankan lagi. Saya pernah bertanya pada seorang teman wanita, apa yang menyebabkan wanita tak perlu lagi mempertahankan kevirginannya? Ia menjawab, “kalau pria saja bisa mengobral kevirginannya (keperjakaan), mengapa kita harus menjaganya saat kita mulai menjalani hubungan? kita tidak pernah tahu apakah dia masih perjaka atau tidak. Lagian bukan suatu hal yang aneh lagi jika di zaman sekarang ini banyak cewek yang gak virgin lagi”.
Di sisi lain, ada juga kelompok Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an mempunyai tiga pokok pikiran. Pertama, bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis. Kedua, bahwa perbedaan Jender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat. Sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi. Ketiga,bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan.
Seperti kasus-kasus di atas, pengertian Feminisme ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan. Mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan?, bisakah secara organisatoris serta merta disebut Feminis?, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidakadilan atau diskriminasi?, serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut?. Tapi yang paling penting bagaimana kerancuan anggapan mengenai “Feminisme” inilah yang perlu dibenahi. Anggapan yang kemudian menggeser tradisi dan budaya yang kita banggakan dengan budaya kiriman barat (Western) yang tidak kita pikirkan terlebih dahulu baik-buruknya.
Sekarang bukan saatnya lagi kita  berdebat apakah karena sangat bodohnya mereka atau sangat pintarnya. Saatnya sekarang para wanita bangkit memperjuangkan Feminisme yang sebenarnya. Bagi para wanita yang sudah terlanjur salah dan tidak disengaja, hendaklah mereka bangkit dari keterpurukan. Bagi para wanita yang mampu melihat fenomena ini, bantulah mereka yang tertindas untuk bangkit.
Hasbullah Iqbal, Ketua Rayon PMII Dakwah


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes