Pendidikan multikultural sesungguhnya bukanlah pendidikan khas Indonesia. Akan tetapi pendidikan ini merupakan pendidikan khas Barat. Amerika, Jerman, Kanada dan Inggeris, menerapkan pendidikan multicultural. Walaupun begitu, pendidikan multicultural di Indonesia juga amat perlu untuk dijadikan satu elemen penting dalam pendidikan.
Peserta didik memandangkan Negara Indonesia sendiri terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa dan lain-lain. Hal ini dapat diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaranya, yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. Pentingnya pendidikan multikultural dalam kehidupan kita, agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat.
Adapun, alasan yang melatarbelakangi pendidikan multikultural, yaitu keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang berbeda, baik dari suku, agama, dan kelas sosial.
Hal lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah adanya 3 (tiga) teori sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia ketiga teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity, (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Ketiga teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk (communal theory).
Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang—seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya yang harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas.
Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnis Jawa, maka individu lain yang beretnis lain harus mencair ke dalam etnis Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minoritas sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak sangat tidak demokratis.
Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori kedua, yaitu Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah baru, dengan memasukkan berbagai unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang.
Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnis Jawa, Sunda, dan Batak,maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori, ini belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
Melihat teori kedua belum sepenuhnya demokratis, maka muncullah teori ketiga, yaitu Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas.
Dari ketiga teori komunal di atas, teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh pendidikan multikultural, yaitu teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Untuk konteks Indonesia, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, bahkan diizinkan untuk mengembangkanya.
Pendidikan multicultural bisa diterapkan dengan cara formal dan informal. Dalam pendidikan formal. Untuk Institusi Perguruan tinggi pendidikan multikultral bisa dijadikan sebagai matakuliah umum seperti kewarganegaraan, Negara dan bahasa. Tetapi untuk SD, SLTP, SMP dan SMA pendidikan multicultural bisa diajarkan melalui matapelajaran agama, sosiologi dan antropologi. Lewat penanaman semangat multikulturisme di sekolah-sekolah atau institusiperguruan tinggi ini akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras dan etnis.Selain pendidikan secara formal, pendidikan multicultural juga bisa diajarkan dengan cara informal. Yaitu melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsif multicultural, dengan mengedepa-nkan penghormatan terhadap perbedaan, baik ras, suku, maupun agama antar masyarakat.
Jadi pendidikan multicultural Sangat penting bagi kita rakyat Indonesia untuk mengambil berat dan mempraktekkannya dalam kehidupan kita memandangkan perpaduan antara setiap kaum dan ras dibutuhkan untuk membina masyarakat majmuk yang sejahtera.
Berbagai cara bisa kita lakukan untuk membangun pemahaman keberagaman di kalangan peserta didik, terutamanya di kalangan siswa dan mahasiswa. Pertama, guru atau dosen haruslah mampu bersikap demokratis terhadap siswa dan mahasiswanya.baik dari sikap atau perkataannya supaya tidak ada diskriminatif di kalangan peserta didik. Kedua, guru atau dosen harus mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian yang ada hubungannya dengan agama. Ketiga, guru atau dosen harus bisa menjelaskan kepada peserta didik inti dari setiap ajaran agama, yaitu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Keempat, guru dan dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah untuk menyelesaikan keragaman, budaya, etnis dan agama. Itulah yang menjadikan pendidikan multicultural sebagai salah satu elemen yang utama bagi setiap peserta didik di Indonesia. Eny**
0 komentar:
Posting Komentar