Ketika berbicara mengenai buruh, tentunya tidak akan pernah ada habis-habisnya, karena masalah ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Persoalan buruh ini sudah sering diperbincangkan di kancah internasional, karena sering terjadi di seluruh penjuru dunia, mulai dari perbincangan mengenai ketidakadilan yang dilakukan oleh sang majikan, kesimpangsiuran mengenai upah yang diterima si buruh dan penyiksaan yang kerap kali dilakukan oleh majikannya.
Hal itu akan terus terjadi selama ada kehidupan, karena kita pahami bersama bahwa kaum buruh merupakan kaum yang paling rendah di ranah status sosial, tetapi tidak harus selamanya buruh itu ditindas dan diperlakukan tidak adil. Kita semua harus memperjuangkan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada buruh itu sendiri, sehingga minimal ketidakadilan yang terjadi semakin diminimalisir. Dalam hal ini, Indonesia memiliki guru besar yaitu Kyai Abdurrahman Wahid yang biasa dikenal Gus Dur.
Tokoh ulama’ besar ini selain bergerak dalam bidang politik dan keilmuan, dia juga sering memperjuangkan hak-hak kaum yang termarginalkan. Salah satunya kepada kaum buruh, termasuk di dalamnya buruh migran Indonesia. Hingga hari ini berbagai kalangan masyarakat terus memberikan apresiasi terhadap peran Gus Dur dalam hal memperjuangkan hak-hak buruh migran.
Sejak pra menjadi presiden bahkan setelah turun dari kursi jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia (presiden), dia tetap dalam komitmennya membela kaum yang termarginalkan. Meskipun hal itu perlu kesabaran dan keteguhan hati.
Sebelum menjadi presiden, komitmen ini sudah nampak, hal itu terbukti ketika berdirinya Serikat Buruh Independen yang statusnya ada di luar serikat buruh resmi, dia bersama Muchtar Pakpahan mendirikan organisasi tersebut, yang hal itu bukan tanpa resiko, apalagi pada saat itu masa orde baru, yang tentunya tantangan dan resiko akan selalu dihadapi, tapi dia tidak mundur hanya karena hal kecil ini, dia berani mengambil semua resiko yang akan dihadapinya.
Tak lama setelah dilantik menjadi presiden Republik Indonesia, langkah yang dilakukan dalam mengatasi problem ini ialah mengumpulkan kalangan aktifis serikat buruh dan NGO (non government organization) advokasi buruh. Hal itu dilakukan beliau hanya untuk mendapat masukan dari mereka terkait perbaikan dan kebijakan perburuhan. Banyak usulan dan masukan yang konstruktif dari pertemuan tersebut, terkait buruknya perundang-undangan di bidang perburuhan dan nasib buruh migran Indonesia yang kondisinya semakin hari semakin memprihatinkan. Salah satu yang diangkat dalam pertemuan itu ialah kasus ancaman hukuman mati terhadap Siti Zaenab, buruh migran asal Bangkalan, Madura yang bekerja di Saudi Arabia.
Hasil konkrit dari pertemuan antara Gus Dur dengan kalangan aktifis serikat buruh dan NGO advokasi buruh tersebut, menghasilkan sebuah peraturan perundang-undangan, yaitu Penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 150 Tahun 2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan upah pesangon, uang penghargaan dan ganti rugi oleh perusahaan. Bagi kaum buruh, Permenaker No. 150/2000 ini merupakan kebijakan yang sangat pro buruh dan sangat kontra dengan pengusaha sebagai majikan.
Setelah pertemuan itu, hal pertama yang dilakukan ialah menangani kasus yang dialami oleh Siti Zaenab yang sempat diperbincangkan dalam pertemuan tersebut, Gus Dur langsung bertindak proaktif dengan mengontak langsung penguasa Saudi Arabia yaitu Raja Fahd, dan meminta penguasa Arab untuk membatalkan pelaksanaan hukuman mati terhadap Siti Zaenab, berkat diplomasi tingkat tinggi tersebut yang dilakukan oleh antar penguasa negara, sehingga nyawa Siti Zaenab bisa terselamatkan dan tidak jadi dihukum mati, walaupun hingga saat ini proses hukum terhadap Siti Zaenab belum tuntas, akan tetapi minimal Siti Zaenab ini tidak jadi dihukum mati. Hal yang dilakukan oleh Gus Dur dalam menyikapi persoalan ini sangat konkrit.
Dalam diplomasi tingkat tinggi tersebut, Presiden Gus Dur juga berani mengancam akan menghentikan pengiriman penempatan buruh migran Indonesia ke Arab Saudi, apabila pemerintah Arab Saudi terus membiarkan penganiayaan dan pemerkosaan terhadap buruh migran dari Indonesia yang bekerja di sana. Ancaman peraturan ini sebenarnya akan direalisasikan pada tanggal 17 Agustus 2001 melalui program Hari Jeda (moratorium) pengiriman buruh migran Indonesia ke Arab Saudi. Namun program itu tidak sempat di realisasikan, karena Gus Dur dijatuhkan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Lengsernya Gus Dur dari jabatan presiden inilah yang juga menandai berhentinya program pembaharuan perundang-undangan perburuhan, yang tujuan utamanya adalah membela kaum buruh migran yang bekerja di luar negeri.
Pasca lengsernya Gus Dur dari kursi presiden, komitmen mulia itu masih tetap terjaga. Hal itu dibuktikan ketika adanya pengusiran paksa buruh migran Indonesia yang ada di Malaysia pada tahun 2005. Gus Dur merelakan tempat tinggalnya di Ciganjur untuk menampung ratusan buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen atau ilegal. Alasan ilegal inilah yang kemudian memunculkan kritikan dari gusdur, karena pihak pemerintahan Indonesia juga tidak mau mengurusi mereka yang ilegal, perlakuan diskriminasi pemerintah inilah yang dikritik gusdur, pemerintah dianggap tidak menghargai pengorbanan buruh migran Indonesia.
Disamping itu pula, dalam menyelesaikan kasus buruh migran yang ilegal di Malaysia ini, dia melakukan lobi secara personal terhadap Perdana Menteri Malaysia pada Agustus 2005 dengan biaya pribadi, tanpa ada campur tangan pemerintah. Berkat adanya lobi antar personal itu, Gus Dur mampu membebaskan Adi bin Asnawi, buruh asal Lombok, NTB yang sudah divonis hukuman mati dan sudah dipenjara di Sungai Buloh Selangor. Dari kasus ini, kita juga dapat memberi kesimpulan bahwa penanganan Gus Dur terhadap kaum buruh sangat konkrit.
Jadi, dapat kami simpulkan dari perjalanan hidupnya, yang sangat peduli dan sangat perhatian terhadap kaum yang termarginalkan, sangat nampak, sehingga penulis kiranya tidak salah jika diberi gelar “Bapak Buruh Migran” yang ada di Indonesia. Dan jika pemerintahan Indonesia masih menghormati dan masih menghargai jasa Gus Dur dalam memperjuangkan hak buruh migran, maka pemerintah harus juga lebih peduli dan lebih perhatian terhadap kaum buruh, sehingga tidak ada lagi penindasan terhadap buruh migran. M. Syarrafa, Mahasiswa IV BKI*
0 komentar:
Posting Komentar